Selasa, 01 Maret 2011

Bioteknologi Bovine Somatotropin

BOVINE SOMATOTROPIN SEBAGAI ALTERNATIFE DALAM PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI DI INDONESIA
ABSTRAK
Indonesia saat ini dan beberapa tahun ke depan sangat dituntut upaya meningkatkan produksi susu. Kebutuhan susu segar dan produk susu semakin meningkat akibat pertambahan penduduk yang sangat cepat. Thetapi hal ini tidak diimbangi dengan produksi susu yang masih terbatas.
Salah satu teknologi yang saat ini sedang digunakan secara luas adalah penggunaan Bovine Somatotropin (bST). Penggunaan bST di beberapa negara terutama Amerika telah teruji kemampuannya dalam meningkatkan produksi susu. Akan tetapi berbagai kalangaan termasuk praktisi, peneliti maupun konsumen masih mempertanyakan dampak penggunaan bST, baik pada ternak, manusia maupun lingkungan. Sehingga penggunaan di Indonesia mungkin masih menunggu beberapa waktu lagi. Padahal dibandingkan dengan impor sapi perah yang pada saat ini yang sangat besar biayanya, penggunaan bST dapat meningkatkan produksi susu hingga 20% % tanpa harus menambah jumlah sapi perah serta menambah fasilitas seperti kandang dan penggunaan lahan bar
BABI
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kebutuhan susu nasional semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. Tapi Peningkatan permintaan ini tidak bisa diimbangi oleh peningkatan jumlah produk susu nasional. Setiap tahunnya, Indonesia membutuhkan sekitar 2,5 juta ton susu. Produksi susu dalam negeri Indonesia masih sangat rendah, yakni 636,8 ribu ton atau sekitar 26,5% dari total pasokan nasional, sementara 1.420,4 ribu ton atau 73,5% pasokan susu didapat dari impor.(Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian). Ketika Indonesia sangat bergantung kepada bahan baku susu dari Australia dan Selandia Baru, harga susu pun mudah naik karena dipengaruhi kenaikan harga susu dunia.
Rendahnya produksi susu di Indonesia terjadi karena adanya permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia yaitu masih rendahnya kemampuan budidaya khususnya menyangkut kesehatan ternak dan mutu bibit yang rendah. Kekurangan tersebut selain mengakibatkan lambatnya pertumbuhan produksi susu juga berpengaruh terhadap kualitas susu yang dihasilkan. Selain itu mulai sulitnya lahan sebagai sumber rumput hijauan bagi ternak, tingginya biaya transportasi, serta kecilnya skala usaha sebagaimana telah dikemukakan di atas, juga menjadi penghambat perkembangan produksi susu domestik. Hasil yang ditunjukan oleh fakta-fakta tersebut mendorong kita sebagai mahasiswa untuk dapat menemukan alternative umum untuk meningkatkan jumlah produksi susu.
Rekayasa genetika dapat digunakan agar susu yang dihasilkan oleh sapi dapat lebih banyak lagi. Sapi-sapi akan ditambahkan pada tubuhnya hormon bovine somatotropin yang disebut rbST, yaitu hormon yang dapat meningkatkan produksi susu hingga 20 persen. Produksi susu sapi normalnya 5,3 galon atau sekitar 20 liter per hari. Dengan dimeningkatnya hormon bovine somatotropin setidaknya produksi akan bertambah 6 galon, setara 25 liter per hari. Dengan mengembangkan eksperimen rekayasa genetika tersebut maka kebutuhan susu di Indonesia dapat terpenuhi karena produksi susu sapi akan ditingkatkan
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Rekayasa genetika
Rekayasa genetika dilakukan demgan prinsip pengambilan gen atau sekelompok gen dari sebuah sel dan mencangkokkan gen atau sekelompok gen tersebut pada sel lain dimana gen atau sekelompok gen tersebut mengikat diri mereka dengan gen atau sekelompok gen yang sudah ada dan bersama-sama menanggung reaksi biokimiawi penerima.
Pada dasarnya rekayasa genetika memanipulasi DNA (asam deoksiribosenuklat). Gen atau pembawa sifat yang bisa diturunkan dalam mahkluk terdiri dari rantai DNA. Rekayasa genetika menyeleksi gen DNA dari suatu organisme ke organisme lainnya. Pada awalnya, perkembangan tersebut hanya antara satu jenis mahkluk hidup, tetapi kini perkembangan sudah sedemikian maju sehingga bisa dimungkinkan untuk memindahkan gen dari satu jenis mahkluk hidup ke mahkluk hidup lainnya yang berbeda jenisnya. Salah satu teknik yang digunakan untuk mencoba menciptakan makhluk hidup yang hampir sama dengan yang sudah ada melalui rekayasa genetika adalah dinamakan teknik kloning. Kloning memperkenalkan manusia pada perkembangan badan yang deterministic, lewat cetak biru gen organisme induknya. Membuat kloning gen merupakan suatu teknologi untuk mengidentifikasi, mengisolasi, dan membuat duplikasi gen dari protein tertentu, dengan tujuan agar gen itu dapat dianalisa atau dipakai untuk memproduksi protein yang banyak terdapat dalam tubuh mahkluk hidup.
Hormon pertumbuhan pada sapi (bovine somatotropin)
Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan factor genetis. Faktor lingkungan meliputi: pakan, baik hijauan maupun konsentrat, air, iklim dan fasilitas pemeliharaan yang lain. Pengaruh pertumbuhan yang disebabkan faktor lingkungan ini tidak diturunkan kepada anakan. Sedangkan faktor genetis yang dikendalikan oleh gen akan diturunkan kepada keturunannya. Pertumbuhan dikendalikan oleh beberapa gen, baik yang pengaruhnya besar/utama (major gene) sampai yang pengaruhnya kecil (minor gene). Salah satu gen yang diduga merupakan gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon pertumbuhan yang mempengaruhi sekresi hormone pertumbuhan.
Gen hormon pertumbuhan sapi (bovine growth hormone gene) telah dipetakan terletak pada kromosom 19 dengan lokasi q26-qtr (Hediger etal., 1990). Sekuen gen ini terdiri dari 1793 bp yang terbagi dalam lima ekson dan dipisahkan oleh 4 intron. Intron A, B, C dan D berturut-turut terdiri dari 248 bp, 227 bp, 227 bp dan 274 bp.
Mekanisme kerja hormone bovine somatotropin
Hormon Somatotropin sapi merupakan polypeptida bercabang yang mempunyai 416 asam-amino. Hormon ini mempunyai efek terhadap membran sel. Fungsi hormon ini diantaranya sebagai pemicu untuk membentuk dan meningkatkan konsentrasi cAMP sebagai proses terjadinya utusan kedua (second messenger) yang diikuti oleh proses-proses biologis lainnya; meningkatkan asam-amino ke dalam otot, ginjal dan fibroplast dan juga dapat menyebabkan lypolysis pada jaringan lemak yang dibantu oleh hormon lain seperti tiroksin dan glucocorticoid.
Mekanisme kerja Somatotropin dalam memperbaiki performans laktasi yaitu dengan perubahan pembagian penyerapan zat makanan (partitioning of absorbed nutrients), pertambahan lemak dikurangi, mobilisasi lemak ditingkatkan dan penggunaan glukosa oleh jaringan peripheral dan oksidasi glukosa dan asam-amino dikurangi . Akibatnya glukosa dan asam-amino menjadi tersedia untuk sintesis komponen susu serta cadangan lemak digunakan sebagai sumber energi. Selain itu respons ternak terhadap bST (bovine somatotropin) adalah peningkatan pengeluaran darah dari jantung (cardiac out put ) dan laju aliran darah ke ambing (mammary blood flow). Respons-respons ini yang menyebabkan peningkatan pemasukan zat makanan (nutrient). Breier et al . (1991).

TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengaruh dari penyuntikan bovine somatotropin pada sapi.
2. Mengetahui kelayakan rekayasa genetika sapi dalam usaha peningkatan produksi susu.
3. Mengetahui alternative umum dalam mengatasi permasalahan ketersediaan susu di Indonesia..

BAB II
PEMBAHASAN

Metode dalam mengisolasi hormone bovine somatotropin
Sampel darah diambil secara venepuncture, menggunakan venoject. Darah yang diperoleh dimasukkan ke dalam 50 ml tabung reaksi berisi heparin yang berfungsi sebagai antikoagulon. Sepuluh mililiter darah ini di ambil dan disimpan pada suhu –70oC untuk referensi dikemudian hari, sedangkan sisanya
digunakan langsung dalam untuk diekstrak sel darah putihnya. Sel darah putih kemudian diekstrak menggunakan teknik Buffy coat. Total darah dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, dan kemudian disentrifugasi pada kecepatan
1500 rpm selama 15-20 menit. Buffy coat yang diperoleh kemudian diambil dengan menggunakan pipet, dipindahkan ke dalam 20mL tabung sentrifus dan dipenuhi dengan larutan buffer TE1, dan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 2000 g selama 10-15 menit. Pellet yang diperoleh kemudian diresuspensikan dalam 1mL bufer TE2, dan kemudian dipindahkan ke dalam tabung penyimpan (Nunc) untuk disimpan pada suhu –80oC sampai saat digunakan untuk proses .selanjutnaya.
Ekstraksi DNA
DNA diekstraksi dari sel darah putih dengan menggunakan teknik Wizard Genomic Purification System (Promega, Madison USA).
PCR-RFLP
DNA yang diperoleh langsung digunakan untuk reaksi PCR yang dilakukan dalam mesin PCR (thermocycler Perkin Elmer 2400/ 9700). Reaksi ini digunakan untuk mengamplifikasi 2 gen homon pertumbuhan. Reaksi dilakukan dalam suatu volume
campuran sebanyak 25µL yang berisi 200µM dari masing-masing dNTPs, 2mM MgCl2, 10x bufer dan 1,5 unit Taq DNA polymerase dalam 0.6ml tabung PCR.
Amplifikasi gen hormone pertumbuhan
Lokus 2 gen hormon pertumbuhan (GH-L2), yang terdiri dari 329bp meliputi Exon III dan IV diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer GH5/GH6 (Sutarno, 1998) dengan urutan oligonukleotida sebagai berikut:
GH5:
5’-CCCACGGGCAAGAATGAGGC-3’
GH6:
5’-TGAGGAACTGCAGGGGCCCA-3’
Kondisi reaksi amplifikasi PCR adalah: satu tahap reaksi denaturasi awal pada suhu 94oC selama 5 menit, diikuti dengan 30 siklus amplifikasi yang masing-
masing siklus terdiri dari: denaturasi pada 94oC selama45 detik, annealing pada 60o
C selama 45 detik, dan extension pada 72oC selama 1 menit; diikuti dengan satu tahap polymerasi final pada 72oC selama 5 menit.
RFLP analisis
Hasil amplifikasi PCR digunakan dalam reaksi digesti dengan menggunakan enzim AluI untuk mengidentifikasi situs polimorfisme AluI pada lokus 1, sedangkan lokus 2 didigesti menggunakan enzim MspI. Hasil digesti kemudian dielektroforesis pada bak elektroforesis horizontal dengan menggunakan gel yang terbuat dari 1-2% agarose dalam bufer TAE. Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan gel horisontal selama 90 menit pada 55 volt. Lama waktu sangat tergantung pada konsentrasi gel dan voltase. Agar hasil elektroforesis dapat divisualisasi, ethidium bromida disertakan pada saat pembuatan gel dengan konsentrasi final 0,12 µg/mL. Setelah elektroforesis selesai, DNA divisualisasi dibawah sinar ultra violet dalam ruang gelap, dan diambil gambarnya menggunakan film Polaroid ukuran 57 dengan filter merah.
Manfaat hormone bovine somatotropin
Hormon pertumbuhan pada sapi (bovine growth hormone) mempunyai peran utama pada pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu (Cunningham,, 1994; Hoj et al., 1993). Tidak diragukan lagi semua penelitian pemberian bST pada sapi perah memberikan hasil adanya peningkatan produksi susu, kualitas susu, memperbaiki persistensi laktasi serta meningkatkan efisiensi konversi pakan. Peningkatan produksi susu bervariasi hingga mencapai 5.4 kg per hari (Moallem et al., 2000) ,
Moallem et al. ( 2000 ), pada penelitian menggunakan dosis 500 mg Zn-Sometribove (bST) yang disuntikkan setiap 14 hari dan diberikan pada hari ke-10 hinggga ke 150 menunjukkan bahwa produksi susu FCM (Fat Corrected Milk) meningkat 5.4 kg per hari per ekor. Demikian juga hasil yang dilaporkan oleh Phipps et al., (1997) dan Luna-Dominguez et al. ( 2000 ) memperlihatkan produksi susu yang signifikan. Bauman et al. (1999) telah melakukan penelitian selama 8 tahun (1990-1999) , membandingkan 4 tahun periode sebelum bST disetujui FDA (1994) dan 4 tahun setelah disetujui. Penelitian ini dilakukan pada 340 peternakan dan tidak kurang 200.000 ekor sapi laktasi dan telah dilakukan 2 juta test memperlihatkan respons yang konsisten 4 tahun setelah disetujui, lemak susu dan protein meningkat dan persistensi laktasi diperbaiki.
Dampak Penggunaan Bovine Somatotropin
Sampai sejauh ini belum ada peneliti yang melaporkan dapak negatif dari penggunaan bST (bovine somatotropin). Kekhawatiranakan adanya penurunan bobot badan cukup beralasan terutama penggunaan bST pada awal laktasi. Hal ini berhubungan dengan kondisi sapi yang sedang mengalami keseimbangan energi yang negatif. Penggunaan bST menyebabakan penurunaan bobot badan pada kondisi yang memprihatinkan. Karena penggunaan bST akan memobilisasi cadangan lemak tubuh. Pada awal laktasi hingga menjelang puncak laktasi, bobot badan cendrung menurun. Keadaan ini dapat diatas dengan penggunaan bST setelah puncak laktasi. Setelah 50 hari laktasi (Phipps et al., 1997, Luna-Dominguez et al., 2000) atau dengan pemberian pakan yang baik (Moallem et al. 2000).
Hasil penelitian Scarda dan Mader (1991) Menunjukkan penggunaan bST tidak menunjukkan gejala toxic syndrome, tidak ada perubahan tingkah laku atau gangguan penyakit metabolik. Berdasarkan rekomendasi Kementrian Pertanian dan Nutrisi dan Kementrian Kesehatan Amerika, sertifikat aman untuk somidobove 4 April 1989 telah dikeluarkan. Keamanan untuk konsumen yang mengkonsumsi produk susu dan daging dari pemberian bST pada sapi perah berdasarkan penelitian dan pengetahuan yang ada yaitu ;
(1) Komposisi susu, flavor dan pertumbuhan biakan Starter asam laktat tidak dipengaruhi oleh bST,
(2) BST (bovine somatotropin) tidak mempunyai aktivitas biologis pada manusia, dan sebagai susu protein bST dicerna semuanya bila dikonsumsi.
Satu penelitian yang menunjukkan adanya indikasi terjadinya mastitis dengan meningkatnya jumlah sel somatic (SCC) pada pemberian bST. (Van Den Berg,1991). Akan tetapi hasil penelitian Bauman. (1999) SCC tidak dipengaruhi oleh adanya pemberian bST. Dijelaskan bahwa et al umumnya mastitis dan problem penyakit yang lain sering terjadi pada 45 hari setelah beranak. Resiko peningkatan mastitis klinis meningkat seiring meningkatnya produksi susu (Oltenacu dan Eskebo, 1994). Akan tetapi hasil penelitian Hoeben et al (1999) memperlihatkan bahwa pemberian bST. pada sapi yang terinfeksi oleh Streptococcus uberis dapat mencegah penurunan produksi susu, perubahan komposisi susu seperti laktosa, protein, lemak, Na+, K+ dan Cl-. Sedangkan menurut Bauman et al (1999) pada peternakan di Michigan pengobatan mastitis klinis dan culling pada sapi diberi perlakuan bST tidak terjadi.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam penyuntikan bovine somatotropin
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikann di antaranya dosis yang digunakan, kapan atau pada hari keberapa setelah beranak, apakah sebelum atau setelah puncak laktasi. Kemudian kondisi atau persyaratan apa yang perlu disiapkan pada sapi seperti pakan, kondisi kesehatan, kandang dan peternak itu sendiri.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan ada beberapa dosis yang digunakan, mulai 167, 250, 334, 500 dan 640 mg per 14 hari. (Phipps et al., 1997; Luna-Dominguez et al. 2000; Moallem et al. 2000 ; Fontes JR et al., 1999 dan Torazon-Herrera et al, 1999 ). Ternyata dosis 345 dan 500 mg per 14 hari yang memberikan hasil yang terbaik. Namun penelitian Phipps et al. (1997) di Kenya dosis 354 dan 500 mg tidak memperlihatkan produksi susu yang signifikan. Hasil lain yang berbeda dilaporkan oleh peneliti Malaysia ternyata dosis 250 mg per 14 hari merupakan dosis yang paling ekonomis. Kondisi ini berbeda mungkin disebabkan adanya perbedaan berat badan (Azizah et al , 1993 ).
Pemberian dosis per 14 hari didasarkan bahwa respons bST mulai terjadi selama 24 jam dan respons maksimal terjadi selama satu minggu. Dengan dilakukan penyuntikan setiap dua minggu, ikut mengurangi penderitaan (stress) yang terjadi akibat penyuntikan yang dilakukan terus menerus dalam tempo yang singkat. Hal ini sangat menjadi concern pada penyayang binatang yang berhubungan dengan Isue Animal Welfare.
Demikian juga dalam hal kapan pemberian bST yaitu umumnya diberikan setelah puncak laktasi setelah 50 hari (Phipps et al. 1997; Fontes JR et al. , 1997; Luna-Dominguez et al. 2000), sepanjang laktasi (Bauman et al. 1999) atau awal hingga pertengahan laktasi (10-150 hari)( Moallem et al. 2000). Ternyata pemberian setelah laktasi memberikan respons terbaik. Hal ini berhubungan dengan kondisi sapi sebelum puncak laktasi yang memberikan kondisi keseimbangan energi yang negatif yang akan menimbulkan gangguan pada sapi penurunan bobot badan dan nurunnya Body Condition Score (BCS) sapi, sehingga kerentanan terhadap beberapa penyakit meningkat. Sapi pada pertengahan laktasi atau akhir laktasi keseimbangan pakannya umumnya positif.
Kondisi lain adalah hampir semua memerlukan dukungan energi yang cukup sesuai kebutuhan sapi untuk berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Karena penggunaan bST meningkatkan produksi susu yang membutuhkan makanan untuk sintesis susu tersebut. Tetapi penelitian Phipps et al. (1997) menyimpulkan bahwa penggunaan bST tidak perlu mengubah manajemen dan kualitas sumber pakan yang ada di daerah tersebut. Selain itu dari beberapa penelitian ternyata hasil yang didapat lebih baik pada sapi multiparous (beranak lebih dari satu kali) dari pada primiparous (beranak pertama kecil) ( Luna-Dominguez et al. 2000, Rose dan Obara, 2000). Hal ini berhubungan dengan makin meningkatnya bobot badan setelah laktasi pertama. Demikian pula perlu perhatian khusus oleh peternak pada sapi yang mendapat perlakuan bST seperti kondisi kandang dan lain-lain.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Penggunaan Bovine Somatotropin (bST) dapat meningkatkan produksi susu, kualitas susu, memperbaiki persistensi laktasi dan efisiensi konversi pakan. Sejauh ini belum ada efek buruk dari penggunaan bST.
Dari uraian diatas penggunaan bST dapat dilakukan di Indonesia. Sehingga dapat digunakan sebagi alternative umum dalam memenuhi kebutuhan susu di Indonesia. Penggunaan bST dapat dilakukan terutama pada perusahan peternakan sapi perah dan peternakan rakyat serat hanya diberikan pada sapi yang berproduksi tinggi.
Dosis yang digunakan adalah 250 mg atau 354 mg per 14 hari dan diberikan 50 hari setelah laktasi hingga kurang lebih hari ke 200, serta harus didukung dengan pakan yang cukup berkualitas. Disamping itu perlu dilakukan pengontrolan yang ketat.
SARAN
1. Pemerintah mudah-mudahan dapat meningkatkan alokasi dana untuk membiayai sejumlah penelitian dalam rangka mengembangkan teknologi rekayasa genetika.
2. Seluruh stake holder dalam dunia kesehatan diharapkan dapat
lebih aktif dalam mengembangkan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, A.R.,R.H. Phipps, I.A. Fursyith, D.L. Hard, W.E. Wan Hassan and J.A Taylor..1993. Influence of a prolonged release formulation of bovine somatotropin (Sometribove) on milk production and the concentration of bovine somatotropin and insulin like growth factor-1 (IGF-1) in serum and milk of Malaysian Sahiwal x Friesian cows. Livest.Prod. Sci. 35 : 173.
Bauman, D.E., R.W. Everxett, W.H. Weiland and R.J. Collier. 1991.Production responses to bovine somatotropin in Northeast dairy herds. J. Dairy. Sci. 82:2564-2573.
Breier, B.H./P.D. Gluckman, S.N. McCutchen and S.R. Davis. 1991. Physiological responses to somatotropin in the ruminant. J. Dairy .Sci. 74(Suppl.2):20-34.
Dunlap, T.F., R.A. Kohn, G.E. Dahl, M. Varner and R.A. erdman. 2000. The impact of somatotropin, milking frequency and photoperiod on dairy farm nutrient flows. J. Dairy. Sci. 83:968-976.
Fontes JR, C., V.K. Meserole, W. Mattos, R.P. Barros, Z. Wu and J.T. Huber. 1997. Response of Brazilian crossbred cows to varying doses of bovine somatotropin. J. Dairy. Sci. 80:3234-3240.
Hoeben, D., C. Burvenich, P.J. Eppard and D.L. Hard. 1999. Effect of recombinant bovine somatotropin on milk production and composition of cows with Streptococcus uberis Mastitis. J. DairySci. 82:1671-1683.
Jikell, T.D. 1998. Nutrient biogeochemistry of coastal zone. Science 281:217-222.
Moallem, U., Y. Folman and D. Sklan . 2000. Effects of somatotropin and dietary calsium soaps of fatty acids in early lactation on milk production, dry matter intake, and energy balance of high-yielding dairy cows. J. Dairy Sci 83: 2085-2094.
Luna-Dominguez, J.E., R.M. Enns, D.V. Armstrong and R.L.Ax. 2000. Reproductive performance of Holstein cows receiving somatotropin. J. Dairy Sci. 83: 1451-1455.
Oltenacu, P.A. and I.Ekesbo. 1994. Epidemilogical Study of clinical mastitis in dairy cattle Vet. Res. 25:208.
Phipps, R.H., D.L. Hard, and F. Adriaens. 1997. Use of bovine somatotropin in the tropics: The effect of sometribove on milk production in Western, Eastern and Southern Africa. J. Dairy Sci. Vol. 13. No.2:236-243.
Torazon-Herrera, M., J.T. Huber, J. Santos, H. Mena, L.Nusso, and C. Nussio. 1999. Effects of bovine somatotropin and evaporative cooling plus shade on lactation performance of cows during summer heat-stress. J. Dairy Sci. 82:2352-2357.
Van Den Berg, G. 1991. A review of Quality and processing suitability of milk from cows treated with bovine somatotropin, J. Dairy Sci. 74(Suppl.2):2-11.

1 komentar:

  1. jangan panjang-panjang tulisannya non.... maksimal 500 kata (menurut riset) trus jangan lupa dipotong supaya hanya nampil paragrap awal saja di beranda...

    keep writing...

    BalasHapus